Tentang Kematian

Selama 30 tahun lebih hidup di dunia, kematian adalah hal yang paling jarang aku pikirkan.

Aku tahu bahwa setiap manusia akan menghadapi kematian, tapi aku tidak menyangka manusia begitu dekat dengan kematian. Aku selalu mengira, sebagai manusia, kita punya banyak waktu. Sangat banyak waktu hingga aku sempat-sempatnya punya banyak cita-cita, punya banyak impian, punya banyak rencana.

Sampai saatnya tiba, orang yang paling aku sayangi di dunia ini harus menghadapi sebuah fase bernama kematian.

Sudah 4 bulan sejak kepergiannya, aku baru memberanikan diri menuliskan hal ini. Dan selama 4 bulan ini, aku masih menganggapnya ada. Aku masih bisa mendengar suaranya. Aku masih sering menceritakan tentang dia ke teman-temanku. Aku masih mendengar lagu dari Phil Collins & Genesis favoritnya, seakan-akan kita berdua masih bersama.

Bahkan dia sempat mendatangiku dan berkata “Nggak papa, kamu harus punya cita-cita, lakukan apa yang kamu mau, kamu harus jadi tinggi ”… sayangnya itu semua hanya dalam mimpi.

Papaku, adalah sosok lelaki yang menurutku sempurna. Sebagai orang tua, sebagai suami dari mamaku, sebagai adik dari saudara-saudaranya, sebagai leader di tempat beliau bekerja, sebagai teman, sebagai tetangga, dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di saat aku menulis hal ini, aku merasa sangat bersyukur, Tuhan sangat baik memberiku kesempatan menjadi anak beliau dan bisa menemaninya hingga kematian menjemput.

Aku selalu ingat kalimat yang selalu dia ucapkan padaku, dari aku yang belum bisa memahami maksud kalimat tersebut hingga aku yang kini merasakan efek dari kalimat itu. 

Sebuah kalimat sederhana darinya yang menjadi jimatku dan membentuk diriku yang sekarang. “Bisa karena terbiasa”. Aku ingat pertama kali papa mengatakannya saat aku duduk di sekolah dasar. Di mobil saat dia menjemputku dari sekolah dan aku mengatakan,”Pa bisa nggak ya aku kerja di gedung tinggi itu?”. “Pa aku pengen bisa punya buku sendiri”. Papa hanya menjawab, “Bisa itu karena terbiasa”.

Setiap aku punya cita-cita, impian dan rencana, papa selalu mengucapkan kalimat itu. Sampai akhirnya aku tahu bahwa kalimat ajaib itu mengajarkan aku untuk tidak pernah menyerah, karena sejak kecil papaku merasa semua cita-citaku yang aneh itu bisa diraih. Aku bisa melakukan semua hal jika aku membiasakannya.

Mungkin bagi kalian, kalimat ini sangat sederhana. Tapi kalimat inilah yang membuat aku bisa hidup hingga saat ini.

Rekaman kejadian demi kejadian dengan papa terlintas seperti VCD yang di-playback saat aku harus menemani beliau di hari terakhirnya hidup di dunia.

Saat itulah aku menyadari, bahwa waktu itu relatif. Thanks, Einstein. Kini aku semakin mengerti dan mengimani teori relativitas.

Hidup di dunia yang kita rasa panjang, ternyata sangat singkat saat kita akan berhadapan dengan kematian. Semua memori dan flashback itu ternyata sangat singkat. Saat menjalani hari ke hari, waktu akan terasa panjang. Namun saat waktu kita telah habis, kita akan menyadari betapa singkatnya hidup di dunia ini.. hidup bersama orang-orang yang kita sayangi sebenarnya sangatlah singkat.

Hatiku sangat hancur ketika harus menemani papaku ke meja operasi untuk yang kedua kalinya, harus menandatangi semua dokumen untuknya, bahkan dokumen persetujuan ketika operasi gagal. Tangannya yang dingin sebelum masuk ke ruang operasi, gestur tubuhnya yang mencariku saat kesakitan, dan aku yang masih menolak kenyataan ini. Aku yang berusaha menghindar dan menerima kenyataan bahwa saat itu hanya tersisa sedikit waktu untuk aku dan papa bisa bersama di dunia. Kadang aku masih merasa menyesal, seandainya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu lagi dengannya.

Tapi apa gunanya penyesalan itu, mungkin lebih baik jika di sisa waktuku hidup di dunia bisa ku isi dengan hal yang bermanfaat. Ternyata kematian tidak selalu buruk, kematian justru menyadarkanku untuk hidup lebih baik tiap harinya. Untuk tidak larut dan penyesalan. Untuk hidup lebih bahagia, karena papa juga pasti akan bahagia jika melihatku bahagia walaupun tanpa dia.

Hal lain yang sangat aku syukuri adalah di akhir hayatnya, aku lega karena papaku mendapatkan akhir yang indah dan tenang. Ketika semua kebaikan-kebaikan terungkap saat hari kematiannya. Ketika banyak orang-orang yang datang untuk melayat dan mengantarkan ke liang lahat, hingga aku merasa sangat bangga diberikan kesempatan menjadi anaknya. 

Kematian pasti akan datang, hanya kita tidak tahu kapan dan bagaimana kita akan meninggalkan dunia ini.